(Kompas, Minggu, 7 Oktober 2007)
Angin manis meniup pasir benua Afrika.
-Di Eropa kutahu masih salju
sampai ke padang-padang Siberia
Aku harus ke Moskow, tapi
Memenuhi harapan yang kusayang
untuk kumpul di akhir Ramadhan
Aku pulang malam terbang garuda rindu
Hari-hari ini, sajak di atas mungkin paling tepat menggambarkan keadaan pikiran dan hati semua orang. Ramadhan segera berakhir. Saatnya untuk pulang. Saatnya untuk berhenti sejenak mengejar arus kehidupan. Saatnya untuk menengok ke belakang, menghadirkan lagi makna keluarga, kerabat, dan sahabat, sambil menikmati kembali masakan ibunda.
Sajak berjudul Panggilan itu ditulis Sitor Situmorang dalam kumpulan puisi Dinding Waktu (1976), dan menjadi satu dari sekian banyak wujud seni yang muncul dari lamunan tentang pulang dan kampung halaman.
Sitor menulis banyak sajak bertema pulang. Simak kerinduan penyair Angkatan 45 itu terhadap Harianboho, kampung halamannya di tepi Danau Toba, dalam puisi yang dipersembahkan untuk ayah dan ibunya:
’Ku yakin menemukan jalan selalu
kembali padamu,
jalan pulang ke lembah landai
di tepi danau
sepanjang pantai.
’Ku yakin selalu padamu kembali
di akhir nanti,
saat kembara berakhir,
tiba sadar para musafir
Bahkan saat ia bermukim di Eropa pada tahun 1953-1954, Sitor mendapat inspirasi menulis sajak-sajaknya dari kenangan tentang rumah dan kampung halamannya. Sajak Pulau Samosir dan Jalan Batu ke Danau (kumpulan sajak Dalam Sajak, 1955) adalah dua contoh paling gamblang.
Tak hanya dalam sastra, pulang dalam makna lain juga mengilhami pelukis Achmad Sadali (almarhum). Lukisan- lukisan abstraknya mengundang perenungan tentang makna pulang secara spiritual, pulang kepada Sang Pencipta.
Jika kita ingat-ingat lagi karyanya, Sadali sering menampilkan bentuk gunungan dalam lukisannya, sebuah simbol pendakian vertikal manusia menuju Tuhan yang transenden. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah lukisannya berjudul Gunungan Emas (1980).
Ranah pop
Dalam ranah yang lebih populer, kita pasti mengenal beberapa karya musik dan lagu bertema pulang atau kerinduan akan pulang. Lagu daerah asal Sumatera Barat Kampuang Nan Jauh di Mato, misalnya, berada di memori hampir semua orang Indonesia.
Atau kalau mau lebih relevan dengan nasib para tenaga kerja kita di Malaysia, yang mungkin tak bisa mudik Lebaran tahun ini, mungkin lagu lama D’Lloyd dari era 1970-an, Semalam Di Malaysia, masih bisa memberi makna tersendiri. Kita pasti hafal penggalan liriknya: Inilah kisahku semalam di Malaysia/Diri rasa sunyi aduhai nasib/Apakah daya, cinta hampa, hidupku pun merana/Mana dia....
Saat ramai-ramainya artis dan selebriti menulis buku, model dan presenter Happy Salma pun membuat buku kumpulan cerpen populer berjudul Pulang (2006). Delapan cerpen dalam buku itu membicarakan pulang dalam berbagai makna, mulai dari pulang ke kampung halaman, pulang pada kenangan masa kecil, atau bahkan pulang dalam kematian. "Semua orang ingin pulang. Saat pulang, saya bisa berefleksi, mengingat kenangan masa kecil, sambil menerawang masa depan," ujar Happy.
Kadang dari karya-karya tentang pulang itu kita bisa merenungkan lagi makna pulang. Apa sebenarnya arti pulang? Apakah artinya sekadar berada di sebuah bangunan bernama rumah? Penyair Joko Pinurbo memancing renungan itu dalam puisinya berjudul Tiada (2003).
Tiada pengembara yang tak merindukan
sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada
di balik iklan yang ia baca di perjalanan.
Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu
yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada
di bingkai foto yang mulai kusam.
Lebih baik punya ibu daripada punya rumah,
kata temanku yang rumahnya konon baru enam
sementara sosok ibunya belum juga ia temukan.
Ya lebih baik punya keduanya, kata saya,
dan entah mengapa airmatanya leleh perlahan.
Rindu akan rumah adalah rindu akan ibu, suatu entitas tempat kita berasal dan menjadi. Perjalanan pulang adalah perjalanan ke tempat seperti itu, tempat hati kita senantiasa berada. (DHF/IAM)