Tawa

(Seputar Indonesia, Minggu, 30 September 2007)

Ayu Utami

Telah lama saya agak percaya. Puisi Indonesia telah jadi seperti agama. Serius, suci, dan tak suka tawa. Ada satu dua pembaharu, memang. Seperti si Joko atau si Joni.

Tapi sebatas mata memandang, warna dasar cakrawala puisi panggung adalah Rendra dan Tarji. Dan nada dasar puisi halaman adalah Goenawan atau Sapardi. Tak ada yang salah dengan sajaksajak mereka, yang lahir dari sebuah zaman represif yang kasat-mata, yang mengikuti sebuah zaman bergolak. Ialah, ”angkatan 66”, lanjutan ”angkatan 45”—meski saya sangat tak suka memakai istilah angkatan.

Periode itu adalah zaman ketika bahasa dianggap sangat serius. Chairil muncul ketika Bung Karno menaklukkan Indonesia dengan retorika.Rendra dkk lahir ketika kata-kata dianggap senjata—pandangan yang pada pemerintah menghasilkan sensor atas media massa dan pertunjukan puisi.Tak heran—meski saya tak suka konsep angkatan—suasana demikian melahirkan sajak-sajak yang dalam dan tak berjarak dari persoalan.

Apa maksudnya: dalam dan tak berjarak dari persoalan? Kira-kira seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta dan patah hati: tak bisa menertawakan diri sendiri. Remaja itu mengira cinta pertama adalah abadi. Dan patah hati adalah akhir dunia.Tak ada yang salah dengan sajak-sajak mereka,sebab sajak-sajak mereka adalah sajak yang kuat.

Tapi ada yang tidak muncul dalam sajaksajak itu, yaitu tawa—sesuatu yang hanya bisa dilakukan jika manusia berhasil menjarakkan diri dari perasaannya. Yang nyaris tak ada pada mereka adalah humor dan ironi. Tentu sajak tak harus berhumor atau berironi.Tapi puisi yang dramatis atau deklamatis—dalam bentuk ekstrimnya: histeris—bukan satu-satunya pilihan. Yang liris dan melankolis juga bukan satu-satunya alternatif.Puisi bisa ironis. Ini,menariknya,belum mengarus utama di Indonesia.

Hanya sedikit sajak Indonesia yang mengadirkan humor dan ironi,di antaranya,ya,sajak si Joko Pinurbo dan Joni Aryadinata.Yang terbanyak adalah yang berdeklamasi.Apalagi kalau dibacakan para selebriti dengan bibir dan tangan bergetar. Saya melihat kontras yang menarik dengan para penyair muda Australia yang sempat saya temui.Saya menonton mereka di dua pesta sastra belakangan ini:Ubud Writers & Readers Festival,25–30 September, serta Bienal Sastra Utan Kayu, akhir Agustus lalu.

Ada tiga penyair Australia yang menakjubkan di atas panggung.Tiga-tiganya memiliki kemiripan: menguasai panggung, bervokal kuat,hafal puisi mereka luar kepala,dan sajak-sajak mereka menghadirkan humor dan ironi. Mereka juga terlibat dalam kelompok musik independen. Mereka bukan dari jenis puisi halaman buku. Mereka adalah jenis yang muncul dalam kompetisi poetry slam, ”bantingan puisi”.

Karya ketiganya termasuk juga dalam antologi dwibahasa Terra yang bulan lalu diluncurkan di Indonesia. Sam Wagan Watson adalah pemuda bertubuh subur berdarah campuran macam-macam.Kulitnya gelap,matanya hijau-coklat. Ia tampil di Bienal Sastra Utan Kayu dengan beberapa potong sajak pendek yang sangat menyentuh. Beberapa kalimatnya menghantui saya.

Ia mempermainkan kesamaan pengucapan ”terror”dan ”terra”.I’m a Frankenstein of a dreamtime, dari puisi yang berkisah tentang politik identitas pemerintah Australia, ia bacakan tidak dengan menghardik, melainkan dengan suara datar, besar seperti tubuhnya. Kita pun tahu ada yang tidak beres di bawah teks. Sean M Whelan hafal setiap kata sajaksajaknya, seperti seorang penyanyi.

Memang ia seorang pemusik dalam kelompok indie di Australia. Saya tanya bagaimana ia bisa menghafal seluruh sajaknya.”Seperti menghapal syair lagu,” katanya. Sajak datang bersama melodi, maka sajak menetap di kepalanya. Yang ketiga adalah Miles Merill,keturunan Afro-Amerika yang lahir di Chicago. Ia bisa membunyikan pelbagai suara. Angin, tekukur, dan entah bunyi apa itu.Pembacaannya selalu membuat penonton tertawa.

Saya bilang padanya, ”Mendengar Anda, tak bisa tidak, saya terhibur. Tapi, buat Anda pentingkah puisi menghibur atau membikin tawa?” Ia bercerita.Tapi pendek kata: tentu tidak harus.Tak harus sajak membikin pecah tawa.Yang penting puisi itu menguak. Saya catat bagaimana ia merumuskannya: ”Saya ingin melucuti orang dengan tawa.Setelah ia tak berdaya,baru kita pukul ulu hatinya.” Humor membuat kita terbuka. Setelah itu barulah serangan yang sesungguhnya.(*)