Tembang Puitik

(Koran Tempo, Selasa, 14 Agustus 2007)

Duet piano dan soprano dalam musik sastra.

Kutilik di daun setitik embun
Indah berseri menawan'nubari
Hendak kupegang
Hatiku sayang takut kan jatuh kalau tersentuh....

Mochtar Embut membuat karya ini pada usia sweet seventeen. Kala itu komponis yang dijuluki si lembut hati, moralis, dan karismatik tersebut sedang jatuh cinta.

"Dari balik jendela, ia (Mochtar) melihat titik-titik embun di atas teratai di Desa Gadog, Ciawi," tutur Ani, adik ipar Embut, yang datang dalam peluncuran album sekaligus pementasan Tembang Puitik Indonesia bersama Ananda Sukarlan dan Binu D. Sukaman di Erasmus Huis, Rabu malam lalu.

Suasana melankolis dan romantis mungkin tercipta oleh sajian lagu-lagu tembang puitik tersebut. Ada sajak W.S. Rendra ketika jatuh cinta kepada istri pertamanya, Sunarti; ada elaborasi musik Ismail Marzuki yang indah; serta puisi kesepian dan rasa kangen karya Ilham Malayu kepada putranya saat di penjara.

Namun, pada awal acara Ananda, yang biasa dipanggil Andy, sudah berpesan, "Jangan terlalu kaku menikmati musik. Ini bukan konsep musik klasik sebenarnya. Ini konser musik yang fun, funky, santai, dan menghibur."

"Komposisi ini salah satu dari ratusan karya Embut. Ada yang dikenal seperti ini dan ada yang dilupakan. Kami berusaha melestarikan lagu harta karun budaya Indonesia ini," kata Ananda mengenai tembang puitik yang sudah direkam dalam bentuk cakram padat (CD) berisi 26 lagu.

Karya Embut itu bukan sekali ini dibawakan dalam bentuk tembang puitik. Karya ini pernah dibawakan dalam resital piano dan soprano Pranawengrum Katamsi (almarhumah), Ati Soedaryanto, dan penyanyi tenor Soedaryanto dalam Art Song 2003-2004 di Gedung Kesenian Jakarta.

Selain itu, Ananda juga membawakan sembilan sajak dari kumpulan puisi Bumi Hijau karya Rendra, seperti Lagu Sepi, Jauh Kekasihku, Permintaan, Surat Bagi Pacar, Kekasih, dan Angin Jahat. Sembilan komposisi musik sastra itu mewakili irama melankolis, ritme cepat, mars, dan ceria.

Rendra, yang hadir pada acara itu, bertutur bahwa puisi Kekasihku dibuat pada 1958 ketika ia jatuh cinta kepada Sunarti (almarhumah), istri pertamanya. "Mochtar Embut juga mencintai Jeng Narti. Saya tahu, tapi diam saja. Dia pernah bikin lagu yang melukiskan hatinya kepada Narti, memakai lirik saya," kata Rendra seraya tertawa.

Dalam penampilan yang dihadiri sekitar seratus orang itu, Ananda dan Binu menampilkan Kama dari tiga karya Ilham Malayu yang terdapat dalam kumpulan puisi Spring on the Calendar, Autumn in My Heart, atau Hanya Bayang-bayang. Komposisi musik ini mengambil irama gamelan gong Jawa dari nada-nada mewakili melankolis, sedikit cepat, dan kembali pelan.

Ilham, yang pernah menjalani hukuman selama 15 tahun di Thailand, merasa terharu. Ia tidak menduga puisinya akan dibaca orang lain, bahkan hadir dalam komposisi musik Ananda Sukarlan.

Puisi ini juga pernah dibawakan dalam malam dana di Gedung Kesenian Jakarta beberapa tahun silam. "Saya buat puisi itu lima bulan di penjara pada 1984. Saya buat ketika kangen anak. Kini puisi itu bermetamorfosis," kata pria yang menjadi konsultan di lembaga pemulihan ketergantungan narkoba itu.

Ananda juga mengelaborasi karya Ismail Marzuki, Wanita. "Ismail Marzuki hanya membuat dalam bentuk melodi, saya melakukan elaborasi harmoni musiknya," ujar Andy, yang juga membawakan komposisi Cita Ria (juga karya Ismail Marzuki) yang riang dan karya Trisutji Kamal, Kepadamu Bunda, yang ditulis pada 1974.

Ananda dan Binu menutup penampilan dalam puisi Naik Bus di Jakarta dari kumpulan sajak Pacar Senja Joko Pinurbo yang segar dan naratif: ....supirnya sepuluh, kernetnya sepuluh. penumpangnya satu, kurus dari tadi tidur melulu.... Andy pun membawakan musik bernada riang tersebut sambil membacakan bait sajak terakhir sambil berteriak, "....Sialan, belum bayar sudah mati...."

EVIETA FADJAR