Magic in Magelang as wordsmiths perform

(The Jakarta Post, September 9, 2007)

by Jerome Kugan, Contributor, Magelang, Central Java

Writers are at best intellectuals who try to make a difference through their work.

Some of us even believe, naively, that we can shift the world views of our readers, hoping our words could nudge them toward a new paradigm.

While it's easy to see how the efforts of journalists, scientists and interpreters of holy books cast a wider net of influence especially in our accelerated globalized world, creative writing continues to be an important stabilizer against the will of the mad.

Perhaps it's because creative writing has always operated near the edge of language (thus the edge of reality), where reason fights to keep the chaos of imagination from polluting and warping its clean-cut logic.

Creative writing poses possibilities, of which the best offer no easy solution, though no less compelling for daring to invoke the magic of suggestion; and hence, of connection.

It's precisely this contention that spun like slow-flowing magma at the core of this year's Utan Kayu Literary Biennale; featuring the participation of more than 40 writers and poets from Indonesia and beyond, each one asked to meditate, respond and present works that dealt with the theme Force Majeure (truly a succinct way of referring to forces that do not stand to reason, forces that humble us and make us realize how insignificant we are).

Nowhere was this theme more poignant than at Magelang, where the second half of the Biennale took place, in the shadow of Mount Merapi, whose volcanic exertions have served as a reminder that reality as we know it is truly as simple (and as complex) as life and death.

The last two nights were truly magical, held on a purpose-built stage against a lit-up Borobodur under a full moon in August.

American Terence Ward's offerings were intercontinental stories of friendship that transcended cultural and religious barriers.

Ditto for Italian Idanna Pucci's celebration of the lives of history's minor heroes and Lebanese Hassan Daoud's meditative query about Lorca's legacy in Beirut.

The symbolic heart was ensnared in an inextricable labyrinth of desire in Bolivia's Edmundo Paz Soldan's Borgesian story about a man who creates a world with a crossword puzzle to please an elusive lover.

This thread of loss and yearning was expanded in the works of Indian writers Sharanya Manivannan and Mamang Dai, and Singaporean poet Cyril Wong, the Biennale's biggest surprise with his haunting countertenor voice, whose works described no less powerful encounters with personal and domestic forces.

For a glimpse at the aftermath, Pakistani Feryal Ali-Gauhar framed an earthquake survivor's horrific experience while Korean Shing Joong Seun's characters struggled to make sense of what it means to be jobless in a material world.

Elsewhere, Australian poet Sean Whelan shed tears for Elvis and Elliott Smith, finding fallen heroes in the unlikeliest of places, while American poet Kimberly Blaeser crystallized her heartbreaking Native American legacy into shimmering poems.

No less prescient than their foreign counterparts, the Indonesians, too, recounted personal earthquakes. Ayu Utami donned a fuzzy pointed hat to deliver a cool and moving elegy to a most "extraordinary" childhood acquaintance, while Avi Basuki found herself inexplicably drawn to the forbidden contours of her female dancing partner.

Hamsad Rangkuti delighted with his absurdist romantic fable of emotional rescue, which played out like a Pedro Almodovar script, while Joko Pinurbo confirmed his status as Indonesia's most affecting poet with his bare odes that trace the secret trajectory of pain along half-spoken mourning and lovers heading in opposite directions.

And I felt it too, leaving Magelang the morning after Joko's melancholic finale, the force of words upon my soul, pulling me back to fond memories of the Biennale, and the writers whose words reconfirm what a major force the act of writing can be.

Those three nights in Magelang didn't just happen on paper, they were real and they were magic.

Jerome Kugan is a writer, poet and musician based in Kuala Lumpur.

Suatu Siang di Seminari

(TEMPO Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007)

”… Aku duduk di pinggir ranjang, berpura-pura membaca majalah, padahal sebenarnya aku mengamati ibu sewaktu ia menutupi payudaranya yang melorot dengan kutang lepek warna kulit yang dibelinya di pasar buah. Celana dalamnya yang telah menguning dimakan usia menampakkan sebaris karet elastis di bagian pinggangnya yang kendor….”

KETUT Ayu Paramitha, siswi SMAN 4 Jakarta itu, serius membaca cerpen Telepon di Sore Hari karya Hao Yu-hsiang, pe nulis cerpen perempuan asal Taiwan. Di bagian itu tampak murid-murid laki-laki yang hadir tersenyum geli, malu malu kucing. Tanpa peduli dengan reaksi itu, Ayu Paramitha tetap dengan mimik tak berubah menuntaskan cerpen yang bercerita tentang telepon-telepon iseng yang selalu mengganggu rumah seorang nona. Telepon iseng yang mengungkap masa lalu ibu atau bapaknya.

Murid dari berbagai SMA di Jakarta siang itu berkumpul di SMA Kolese Kanisius, Menteng. Salah satu agenda Bienale Sastra Utan Kayu ini adalah membawa sejumlah sastrawan asing bersama sastrawan kita berkunjung ke sekolah-sekolah menengah. Hao Yu-hsiang, pengajar di Universitas Dong Hwa, kebagian di SMA Kolese Kanisius. Sastrawan tamu lain di SMU Negeri 78 dan Lab School Kebayoran.

Di sekolah-sekolah itu mereka membacakan karyanya, atau sebaliknya murid-murid itulah yang membaca terjemahan karya mereka. Lalu disediakan sesi tanya-jawab. Banyak yang bertanya tentang proses kreatif, tentang bagaimana menggali inspirasi.

”Saya kreatif kalau lagi bokek,” kata F. Rahardi, menjawab pertanyaan yang langsung disambut ger… oleh para siswa. Rahardi bercerita, pertama kali puisinya dimuat di majalah Basis pada 1970-an. Secara diam-diam seorang temannya mengirimkan sajak Rahardi ke majalah prestisius itu. ”Ternyata menulis juga ada ho nornya, sejak itu saya terus mengirim puisi ke media massa ,” katanya. Jerome Kugan, penyair Malaysia , bercerita bahwa kota adalah sumber inspirasi nya. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Sabah , yang jumlah penduduknya tak banyak, bahkan jika ditelusuri semua penduduknya bersaudara.

Di Jawa tengah, para sastrawan disebar ke tiga tempat, antara lain Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan, Asrama Perguruan Islam, dan SMU Taruna Nusantara. Di seminari, pada saat rombongan menyusuri koridor kelas, sebagian siswa tiba-tiba menoleh ke luar. Para murid itu terlihat sudah tak tahan lagi untuk bertemu mereka. Para sastrawan itu berkumpul di aula pukul 11.00. Semua murid seminari dari kelas 1 sampai 3—sebanyak 210 orang—hadir lengkap, duduk lesehan.

Joko Pinurbo didaulat untuk pertama membaca puisi. Ia adalah alumni seminari Mertoyudan yang kini jadi dosen. Dahulu di situ ia sering merenung di antara lapangan basket dan kandang babi. Puisinya berjudul Celana Ibu membuat tertawa murid yang kebanyakan akan jadi pastor itu.

Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
”Paskah?” tanya Maria.
”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

Pada saat tanya-jawab, para murid seminari itu mengajukan perta nyaan dasar yang sulit dijawab. Misalnya bagaimanakah ukuran puisi yang berhasil itu. Para penulis berbeda-beda dalam hal ini. Mamang Dai me ngatakan puisi adalah kebenaran jati diri. ”Yang paling penting dalam puisi selalu ada kerelaan,” kata novelis Togo Kangni Alem.

Pertanyaan juga berkisar tentang apakah tempat suci penting sebagai sumber kreasi. Sharanya Manivannan menjawab memang tempat suci ba nyak memberikan inspirasi. ”Namun tempat suci sesungguhnya ada pada diri sendiri,” katanya. Ia lalu berce rita, dia memiliki seorang teman yang ateis yang setiap muncul di panggung seolah ada kekuatan besar yang membuat penampilannya bagus.

Suasana di Mertoyudan membuat Kangi Alem serasa bernostalgia, karena ternyata dahulu sekolah menengahnya juga di seminari. Ia lalu meminta anak-anak Mertoyudan itu menyanyikan lagu Latin. Langsung mereka serempak mengumandangkan lagu Gregorian: Tantum Ergo Sacramento—yang biasa dinyanyikan saat Paskah. Tantum ergo sacramentum, veneremur cernui: Et antiquum documentum….

Seno Joko Suyono, Anton Septian ( Jakarta ), Lucia Idayani (Yogya)

Penulisan Feminin dan Maskulin: Daya Hidup, Seks, dan Narasi

-- Kematian dalam Semangat Tubuh

(Bentara, Kompas, Rabu, 03 November 2004)

Mariana Amiruddin

APA lagi yang dapat kita temukan dalam karya penulisan? Setelah deretan pujangga mencoba menyihir manusia membuat kategori mana yang indah dan mana yang tidak, lahir kemudian penulisan menara gading versus pinggiran, seks versus moral, sastra-wangi versus sastra-bau (1). Lalu apa yang dapat kita nikmati dari penciptaan kategori?

BISA negatif: sesuatu yang merendahkan atau meninggikan. Bisa positif: sesuatu yang menjelaskan. Untuk sesuatu yang menjelaskan, saya akan turut serta menciptakan kategori penulisan feminin dan maskulin, ecriture feminine-masculine, yang wilayahnya adalah jender. Adakah yang lebih baik satu dengan lainnya? Tidak ada. Di sini saya akan membuat identifikasi bahwa setiap karya cipta tak dapat lepas dari identitas jender atau jenis kelamin. Berangkat dari penjelajahan hidup masing-masing, sebuah karya lahir tak lepas dari jenis kelamin pengarang, dengan sekian kekhasan dan beda.

Pemahaman vagina, misalnya, dari yang esensialis menjadi morfologis. Vagina jelas berbeda dengan penis. Fungsinya saja sangat berseberangan. Sigmund Freud lebih dulu mengidentifikasinya dengan sekian gagasan imajinasi (morfologi) yang kelewat ilmiah. Klitoris menurut dia penis kecil yang inferior dan kehilangan hasrat, sedangkan penis direpresentasikan sebagai pemilik hasrat yang paling utuh. Freud percaya hanya pria yang bisa masturbasi karena penis konkret dan kelihatan. Itu sebabnya prialah pemilik hasrat. (2) Ide Freud ini membuat saya ikut-ikutan (baca: mendapatkan inspirasi) mencapai imajinasi yang kelewat ilmiah: vagina merupakan organ seks perempuan yang kompleks dan hasrat tertingginya adalah multiorgasme meski tanpa klimaks. Strukturnya tak tunggal seperti penis, melainkan multiorgan. Penuh kemungkinan, memiliki tabungan kehidupan dan kematian dalam rahim. Vagina bukan semata-mata hasrat seks dan aktivitas masturbasi, melainkan penghadir kehidupan dan kematian. Berseberangan dengan Freud, identitas feminin adalah keutuhan hasrat yang mencakup kehidupan, seks, dan kematian. Itulah reproduksi feminin yang khas dan berbeda dari maskulin.

Kita adalah tubuh kita sendiri
Dari pembicaraan di atas, penulisan feminin dan maskulin adalah pembicaraan tentang hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Ketiganya adalah kenikmatan (pleasure) atas tubuh. Tubuh, karena ia adalah materi hidup yang paling intim, terutama untuk keluar dari kegagalan pencarian akar kebudayaan. Tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih, yang selama ini cenderung dilupakan seperti gajah di pelupuk mata. Maka, ketika orang tanya apakah akar kebudayaan saya, tahukah asal-muasal sejarah kebudayaan saya, saya akan menjawabnya, "Kebudayaan saya adalah tubuh saya sendiri". Tubuh itu sendiri begitu dekat dengan jenis (alat) kelamin. Maka, penulisan feminin-maskulin adalah penggalian tentang tubuh kita. Tubuh di sini adalah keseluruhan: esensi, eksistensi, wacana, dan wahana yang bertumpuk dan bermesraan --peleburan cakrawala (3)-- dalam dunia penulisan. Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia sebab kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hasrat adalah cakrawala tubuh itu sendiri. Kurangnya pengetahuan atas tubuh membuat manusia tidak memiliki bekal mengatasi persoalan hidup, seks, dan kematian-nya. Perbincangan tentang tubuh dan hasrat dalam tulisan ini akan kita mulai dengan pemahaman penulisan feminin dan maskulin. Kedua tipe penulisan ini akan meluapkan ide tentang kematian, seks, kehidupan, dan menerangkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas jender.


Determinasi penulisan feminin-maskulin
Ecriture adalah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine "penulisan feminin". Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasuki pengalaman lainnya(baca: pengalaman maskulin) (4). Penulisan feminin adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi Cixous yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies. Penulisan feminin adalah representasi tubuh untuk mendapatkan kesadaran tentang kehidupan, seks, dan kematian (baca: ketiadabatasan-kebebasan-ke-berada-an). "Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven). Because writing is at once to high, too great for you, it’s reserved for the great --that is, for ’greatmen’andit’s’silly’."(5) Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.(6)

Mereka yang mengais tubuh sendiri

"Tubuh adalah seismograf kebudayaan," demikian respons Ignas Kleden terhadap puisi Di bawah Kibaran Sarung Joko Pinurbo. Seperti pandangan tradisional yang kerap mengidentikkan tubuh dengan dosa, Ignas meluruskan stigma tubuh yang murung ini dengan representasi kebudayaan manusia, "...karena dia (tubuh) menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dan hidup, dalam kebudayaan... memahami bahasa badan dengan lebih sensitif adalah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaan dan masyarakat...."(7) Wacana tubuh pada penulisan feminin memang tampak lebih kompleks dan terbuka. Ia tidak hanya bicara bentuk-bentuk tubuh dalam melihat dunia, melainkan tubuh yang membawa proses-proses reproduksi, di antaranya menstruasi. Senapas dengan cerpen Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar membentang proses tubuh yang melahirkan manusia sebagai awal pertarungan hidup-mati Ibu dan anak perempuannya, Nayla. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah... saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dalam cerita ini Djenar mainkan imajinasinya, cerita baru tentang Electra Complex yang berangkat dari tubuh: tubuh anak yang terpisah dari tubuh Ibu, kerinduan pada tubuh Ibu, tetapi terlempar pada tubuh ayah: dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya... saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih... Terpisah dari Ibu... Saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Saya ingin membela Ibu.(8)

Obsesi kematian tubuh
Selain hidup dan seksualitas, tubuh juga melihat dunia lain. Seperti lubang, ia adalah ruang yang berisi imaji, bebas untuk mencipta apa pun. Sekalipun mengerikan, ia bahkan mengharukan. Ia seperti mimpi atau gudang bawah sadar kita: penuh misteri, berantakan, mengentak, seperti percik api yang melompat, tak terbayangkan. Dan, semua dimediasi tubuh. Joko Pinurbo mengejanya dalam Tamu, masih dalam kengerian dan ketakutan: tubuh yang sumpek dan temaram/tamu itu merapal doa sepanjang malam/doanya mencengkeram meremas-remas jantung/sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:/"Aku takut mati!"

Berbeda dengan Bertengkar dengan Maut Hudan Hidayat dalam Keluarga Gerilya, ia malah menyambutnya dengan antusias bahwa kematian sebagai cita-cita dan kepuasan ditemukan melalui kesakitan tubuh sekalian penaklukan Tuhan. Aku siap di kamarku. Aku ingin membunuh diriku sendiri. Tanganku menggenggam pistol. Aku telah mengisinya dengan peluru. Jadi siap tembak. Tinggal mengokang dan menarik pelatuknya/...siapa yang berkuasa kini? Atau aku? Atau Tuhan? Aku tinggal menarik pelatuk, maka meledaklah kepalaku. Mungkinkah Tuhan dapat menahan ledakan itu? Tidak bisa. Jadi siapa yang berkuasa?

Berbeda pula dengan Sakratul Maut dan Bom Tommy F Awuy dalam Logika Falus, ia mencangkoknya dengan logika cerita: permainan situasi dan pikiran untuk menghentikan organisasi tubuh atas beban hidup yang dipanggul. Melalui tokoh Rio, Tommy memetik semangat kisah Romeo dan Juliet yang membuat peristiwa bunuh diri jadi agung, mengakhiri tubuh sendiri. Rio gelisah tak karuan. Keinginan untuk mengalami sakratul maut makin lama makin kencang menekan-nekan obsesi... aku ingin mencari bagaimana caranya mengalami sakratul maut dalam kondisi yang kita buat sendiri, menikmatinya biar sebentar saja lalu kembali ke alam sadar... Ayo Wisdom, tolong carikan jalan untukku. Aku tak sabar lagi.

Namun, Hudan membangun kematian tanpa latar depresi, trauma, ataupun beban, melainkan hasrat kematian yang penuh kenikmatan untuk mencapai penderitaan tubuh sekaligus mengakhiri kesakitan: Tanganku menarik besi hitam itu, perlahan-lahan. Aku ingin merasakan tahap-tahap kematian. Saat maut menjemput, kata orang, adalah saat-saat istimewa.

Luapan hasrat bunuh diri Hudan seperti antusiasme anak-anak mencicipi es krim rasa coklat-vanila dan stroberi sambil bercita-cita jadi insinyur. Pasti menarik melihat darahku mengucur. Darah yang seperti manusia berjalan, melebar, membasahi karpet dan lantai, akhirnya akan merembes ke luar. Pada saat itu, sudah matikah aku? Kalau belum mati, kacau jadinya. Cita-citaku untuk membunuh diri gagal. Padahal sudah lama kuangankan. Sejak SMP.

Obsesi bunuh diri Hudan bukan sebuah kegilaan yang ekstrem. Ia cuma mau menantang hidup dan menjawabnya dengan kematian, mengajak pengoperasian tubuhnya berhenti. Dirobeklah tubuhnya, tepatnya di bagian perut dan bergumam, aku tidak merasa sedih meninggalkan dunia ini. Mereka bukan milikku. Dan aku bukan milik mereka. Kami membutuhkan secara fungsional saja.

Bila Tommy mencapai kematian dengan keteraturan logika, Hudan mencapai kematian dengan bentuknya yang impulsif, melompat, tercerai-berai. Keduanya berangkat dari pengalaman kelelakian yang menoleh pada kematian. Kematian sebagai ruang yang lengang untuk berjingkrak dan berakrobat. Bahkan, Hudan menyandingkan keinginan untuk mati dengan hasrat untuk membunuh. Bayang-bayang pembunuhan memenuhi otakku. Pokoknya kau harus membunuh! Mencari orang lain tidak mungkin, mengapa tidak diri sendiri? Tanpa menimbang lagi, kugigit lidahku sampai putus.

Mereka dengan pengalaman tubuh lelaki menghasilkan penulisan maskulin untuk mengatasi (baca: melawan) kejenuhan, kekakuan, dan keteraturan melalui kematian. Mereka mengatasi kejenuhannya dengan rentetan kengerian dan permainan kematian, seperti figur Ayah yang lelah bekerja seharian di bawah tekanan struktur kantor, seperti tokoh Ayah dalam Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu yang berperan dominan, juga Joko Pinurbo dalam puisinya yang takut mati tapi ingin pula mencapainya.

A Man’s World adalah dunia laki-laki yang terkungkung. Dengan pembagian kerja yang melelahkan, pria harus selalu mencari nafkah sekalipun tak berbakat. Kelelahan ini tampak pada Keluarga Gila Hudan Hidayat yang membalik pembagian kerja suami istri dan bersama anaknya, tema pembunuhan kemudian menjadi puncak kenikmatannya: Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar-kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos... tidak hanya ayah yang mau membunuh ibu. Ibu juga selalu mau membunuh ayah. Juga membunuhku.

Mereka yang jenuh dengan tubuh dan dengannya dunia maskulin tercipta, semuanya begitu transparan terlihat. Saya menyebut kehidupan maskulin sebagai kehidupan yang tunggal seperti penis: tegang, kaku, harus besar dan senantiasa perkasa, tidak intim atau berjarak dan terlalu mengagungkan rasio. Itu sebabnya penulisan maskulin nekat lari ke tepi jurang dan menjatuhkan diri mereka pada kebebasan: membuat ketidakberaturan, membiarkan cair, melompat (kiasme), dan sengaja menjadi tidak rasional. Kematian menjadi nikmat dibandingkan dengan kehidupan yang kaku.

Cerpen-cerpen Hudan dalam Keluarga Gerilya tidak pernah mau tunduk pada aturan, tatanan, selalu ingin keluar dari struktur bahkan dari pembaca. Ia tidak pernah mau jadi obyek pembaca, maunya selalu jadi subyek yang mempermainkan pembaca. Ia selalu keluar dari logika yang mau mengatur. Inilah perjuangan Hudan menjadi bebas (kebetulan menjadi seperti Jean- Paul Sartre), yang tak pernah rela dijadikan obyek: keluar dari predikat maskulin dan aturan peran jender yang dibuat masyarakat. Selain Hudan, mungkinkah mereka berani keluar dari sejarah yang bekerja menurut logika Logos Spermatikos?(9)

Mariana Amiruddin
Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Magister Humaniora Kajian Wanita UI. Tesisnya "Representasi Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman" (Memakai Metode Hermeneutik dan Perspektif Feminis) sedang dibukukan.

1. Sastra wangi adalah sebutan untuk karya-karya sastra perempuan yang diciptakan oleh kalangan sastrawan, sedangkan sastra bau adalah ciptaan saya sendiri untuk memosisikan bahwa yang bukan karya perempuan berarti "sastra bau".
2. Baca pendapat Sigmund Freud tentang penis kecil dalam Juliet Mitchel, Psychoanalysis and Feminism (New York: Vintage Books a Division of Random Haouse, 1975) hal 46.
3. Istilah peleburan cakrawala diambil dari Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin tentang Dictionary of Semiotics (New York: Cassel, 2001) hal 7. Peleburan cakrawala adalah konsep hermeneutika di mana penafsir memosisikan diri sebagai peneliti teks yang melebur masuk cakrawala teks yang ia teliti dan di dalamnya akan lahir wacana baru (memproduksi makna baru). Demikian pula dalam tubuh sebagai teks, maka tubuh bisa sebagai tubuh ataupun bukan semata tubuh itu sendiri.
4. Konsep penulisan feminin dapat pula diterapkan pada penulisan maskulin untuk menyatakan suatu hasrat: hidup, seks, dan narasi kematian seperti yang dikemukakan Helena Cixous dalam http://www.geocities.com/Paris/Metro/1022/female.htm tanggal 22 Februari 1998.
5. Baca pemikiran Helena Cixous yang lebih lengkap dalam esei sastranya The Laugh of the Medusa dalam Robyn R Warhol (Ed), Feminisms on Anthology of Literary Theory and Criticism (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 1991) hal 334.
6. Esei Cixous ini sangat mengagumkan. Ia selalu bicara soal ketiadabatasan yang ia imajinasikan dalam kematian dan kehidupan. "Menyerang segala yang terstruktur" itulah misi Cixous yang dipengaruhi dekonstruksi Jacques Derrida dan Lacan, serta feminis Simone de Beauvoir. Baca Helena Cixous dalam Verena Andermatt Conley, Helena Cixous: Writing the Feminine, Expanded Edition (Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1991), hal 9.
7. Lihat komentar Ignas Kleden dalam sampul belakang buku Joko Pinurbo, Di bawah Kibaran Sarung (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
8. Pembahasan ini lebih lengkap di Jurnal Perempuan edisi 30, "Perempuan dan Seni Sastra", hal 89.
9. Istilah Logos Spermatikos sebetulnya senada dengan Phallosentris, ciri cara berpikir dan mencipta ala maskulin. Istilah ini saya pinjam dari epilog Rocky Gerung berjudul Thank God, It’s Feminism dalam buku Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001)

Sesuatu Sapardi: Anda Bahagia Menulis Puisi?

(Riau Pos, Minggu, 16 Juli 2006)

Wawancara Hasan Aspahani dengan Sapardi Djoko Damono

SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku DukaMu Abadi. Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.

Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.

Dari sastrawan Kurnia Effendi, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. “Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau,” pesan Kurnia Effendi. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu:

HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.

SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila.

HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang?

SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan.

Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul When I Am Sixty Four dalam album Sgt Pepper Lonely Heart Club Band.

Dalam sajak “Pada Suatu Magrib” (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. “Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.

HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang masih ingin Anda capai?

SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi.

Saya lantas teringat sajak “Yang Fana adalah Waktu” (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, “waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa”.

HASAN: Kapan saat Anda sangat subur menulis puisi?

SAPARDI: Tidak tentu.

HASAN: Maksud saya pada usia berapa?

SAPARDI: Usia likuran (dua puluhan, red) paling subur.

HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?

SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.

Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.

HASAN: Khusus saya tanya tentang Joko Pinurbo. Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita.

SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin “bahasa baru”.

Buku puisi pertama Joko Pinurbo, Celana (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: “Ia berhak mendapat perhatian kita.”

HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair?

SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.

HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar negeri, kan?

SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis.

HASAN: Kalau tak salah tangkap, Nirwan Dewanto menandai ada “faktor Sapardi”, penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.

SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri.

HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas.

SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang “mengubah” bahasa saya. Joko Pinurbo ada usaha ke situ.
HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda?

SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.

Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku DukaMu Abadi (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah “Saat Sebelum Berangkat” (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), “Berjalan di Belakang Jenazah” (...angin pun reda/jam mengerdip/....tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan “Sehabis Mengantar Jenazah” (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/....barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). “Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih,” tulis Teeuw.

HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil?

SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.

HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain?

SAPARDI: Tidak pernah.

HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?

SAPARDI: Anda benar.

HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?

SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.

HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana?

SAPARDI: Puisi siapa?

HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?

SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.

HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.

SAPARDI: “Topeng”.

HASAN: “Topeng”? (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu, kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?

SAPARDI: Tentu boleh.

HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik?

SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.

Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. “Aku / ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika.

SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.

HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya?

SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting.

HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda “Tuan”. Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi saya ingin sekali, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu.

SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he.

HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya?

SAPARDI: Sila.

Saya kira sajak “Tuan” adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertas kerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku Perahu Kertas (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis: “Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak “Tuan” dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.”

HASAN: Semalam saya ingat “Dalam Doa”, membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. ...”Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.”

SAPARDI: Terima kasih.

HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.

SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak.

HASAN: Hasif Amini menyebut “Pada Suatu Hari” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-cita dari seluruh puisi Anda. ... dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati.

SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak.

HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya?

SAPARDI: Itu intinya.

HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?

SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya “Aku Ingin” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha.

HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan “Aku Ingin” di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda.

SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja.

Sajak “Hujan Bulan Juni” bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.

HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.

SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.

HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro? itu bukan yang terakhir, kan?

SAPARDI: Bukan.

HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.

SAPARDI: Begitulah.

HASAN: “Ayat-ayat Api” adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap?

SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.

HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?

SAPARDI: Sindiran.

HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.

SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insya Allah.

HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya?

SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha.

HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.

SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi?

HASAN: Ya, saya bahagia. He he.

BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya:

Anda Bahagia Menulis Puisi?
Maka datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya.
“Sebutkan aku dalam puisimu,” katanya. “Sebentar,”
jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. “Itu
bukan aku,” kata dusta. “Nah, dengan demikian
maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?” katanya.
Dusta pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu
pertanyaan: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”
Lalu datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya.
“Keluarkan aku dari dalam puisimu,” katanya. “Tunggu,”
jawabnya. “Sejak kapan kau ada di dalam sana?”
Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. “Keluarlah,”
katanya. “Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,”
kata tanya. Dia pun pasrah. “Terserahlah,” katanya.
Tanya pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa
menjawab: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”


Batam, 7 Juli 2006

Hasan Aspahani, lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Sekolah di SMAN 2 Balikpapan, sambil jadi kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang Kaltim Post). Lalu diundang lewat jalur PMDK di IPB, dan kuliah sambil diam-diam terus mencintai puisi. Setelah berupaya memberdayakan ijazah sarjana di beberapa perusahaan, lalu akhirnya kembali ke dunia tulis menulis lagi, maka sekarang bekerja sebagai Pemimpin Redaksi di Posmetro Batam. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan Shiela dan Ikra (yang memanggilnya Abah). Beberapa puisinya pernah terbit di Jawa Pos (Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), Batam Pos (Batam), juga termaktub dalam beberapa antologi seperti Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2000) Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi “Huruf-huruf Hatta” terpilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Tinggal di Batam.

Apresiasi Sastra

(Radar Lampung, 06 Mei 2007)

Abdul Rozak Zaidan*)

1
APRESIASI sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki ”kapling” dalam hati kita, dalam batin kita. Dengan menyediakan ”kapling” dalam hati untuk sastra, kita secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama kelamaan dari ”kapling” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra.

Pada tataran pertama, wujud sikap apresiatif adalah gandrung dengan kata-kata ”nan indah” dalam arti yang luas. Kita menjadi peka akan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra itu (yang memang bermutu; kalau teks sastra itu tidak bermutu, jelas tidak dapat dihargai). Kita seolah-olah mampu memberikan harga kepada teks sastra itu dalam arti kita memperoleh sesuatu yang berharga darinya. Setelah membaca teks sastra dengan penuh perhatian, kita dapat membayangkan kehidupan di luar kita yang sebelumnya tak terbayangkan. Kita cermati teks sajak sederhana berikut ini.

PEMANDANGAN DI DAPUR

Di dapur
Ikan-ikan tergeletak
Terpotong-potong
Daging sapi atau ayam
Tergelatak
Dan terpotong-potong

Dan di meja
Pisau tajam
Darah beku dari ikan
Dan daging yang terpotong-potong

Alangkah buas manusia

Kemudian periuk mendidih
Api mengepulkan asap
Kuali panas berkobar-kobar
Dan minyak goreng berbunyi

Kita masukkan telor
Berisi calon anak bebek dan ayam
Kita goreng jadi makanan

Anak-anak, bayangkan
Berapa ribu nyawa
Sebelum kita makan
Berapa ribu nyawa hewan
Kita cabut dari badannya
Tiap kali kita makan

Anak-anak, bayangkan
Kalau tiap hari kita bunuh mahluk Tuhan
Masihkan kita harus berperang
Bunuh-membunuh sesama kita?
Anak-anak, bayangkan!

(Abdul Hadi W.M.1983. Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka)


Teks sajak di atas mengingatkan kita akan perilaku ”kejam” kita terhadap binatang walaupun hal itu sebagai mengikuti sunatullah. Pikiran yang terungkap dalam sajak itu adalah pikiran yang semata-mata disemangati oleh kehendak mencintai sesama makhluk hidup. Cinta sesama manusia saja kini semakin berkurang, apalagi sesama mahluk hidup. Kenyataan hidup sehari-hari yang disajikan oleh televisi melalui tayangan Brutal, Tikam, misalnya, menunjukkan semakin menipisnya rasa cinta sesama manusia itu.

Kita disebut memiliki daya apresiasi dalam tataran yang lebih tinggi kalau kita menemukan ”harga” pikiran sang penyair dan menempatkan sajak itu pada kedudukan sebagai pengontrol dan pengendali laku batin kita sebagai manusia. Dengan begitu, teks sastra itu menjadi berharga bagi pengayaan batin kita dalam menghadapi kehidupan. Tentulah, sajak itu buah penghayatan penyair atas sebuah kenyataan dan buah penghayatan itu menyadarkan kita akan semakin berkurangnya perasaan cinta sesama dalam kehidupan batin kita sebagai manusia. Dapat dikatakan bahwa apresiasi itu dapat menumbuhkan penghargaan terhadap sesuatu yang bersahaja yang seperti sia-sia tetapi sarat makna. Dalam kata-kata Goenawan, kita baca potongan sajak tentang poci yang sayang judulnya terlupa, yang isinya mengungkapkan ihwal kebermaknaan sesuatu yang sederhana, keramik tanpa makna, dalam sebuah pertanyaan yang sedikit menggugat,” apa yang berharga dari tanah liat ini, selain ilusi, sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”. Prof. Teeuw menyebutnya sebagai upaya memberikan harga kepada sesuatu yang sia-sia.

2
Apresiasi sastra mengakrabkan kita dengan kehidupan. Mengakrabkan kita dengan kehidupan berarti mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya, sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Yang sudah dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Pernahkah kita membayangkan kehidupan ikan sebelum ikan itu dikalengkan sebagai makanan yang siap saji? Di sinilah persoalannya. Kita ada bersama realitas kehidupan itu, tetapi kita seringkali alpa menyadarinya. Kita cermati sajak berikut ini.

IKAN DALAM KALENG

Kita pergi ke toko
Kita beli ikan kaleng
Kita buka
Kita lihat isinya

Setumpuk ikan
Dengan saus tomat
Tak berdaya
Tak bisa lagi berenang
Atau mengejar cahaya

Tak bisa lagi bermain
Dengan gembira
Air dan kolam telah jauh
Nyawanya dicabut dari tubuh

Tapi kita berkata:
Ah, ini santapan gurih
Dan enak luar biasa

Tak dapatkah
Kita berpikir
Barang sejenak:
Rasa gurih dan enak
Yang kita peroleh
Adalah karena membunuh
Binatang kecil
Tak berdaya

Anak-anak
Tak dapatkah
Kita berpikir
Barang sejenak?

Mungkin ada di antara kita yang berpikir dan bertanya-tanya tentang posisi manusia sebagai makhluk tertinggi yang baginya disediakan oleh Tuhan alam binatang dan tumbuhan sebagai bahan makanan. Pikiran seperti itu bukan tidak ada benarnya bahkan memang begitulah seharusnya. Yang diingatkan oleh sajak itu adalah ihwal kerakusan manusia, sikap melampaui batas itu yang kita kenal sebagai keserakahan. Eksploitasi alam tanpa perencanaan yang matang adalah salah satu sikap yang melampaui batas itu yang antara lain, mengganggu keseimbangan ekologis. Dalam konteks itulah benarnya pernyataan bahwa manusia itu seringkali berbuat berlebihan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi dan langit sebagaimana diingatkan dalam Alquran.

Sastra itu hakikatnya penghayatan terhadap kehidupan. Sebagai hasil penghayatan sang pengarang terhadap kehidupan, dengan sendirinya pembacaan atas teks sastra itu dapat mendekatkan kita kepada kehidupan itu, mengenalkan kita lebih nyata dan dekat akan ihwal kehidupan tersebut. Ada sebuah cerita pendek yang tampaknya ”mendekatkan” kita kepada salah satu wujud kehidupan di sebuah perkampungan kumuh di ibu kota. Cerpen itu ditulis oleh seorang penyair tersohor, Sutardji Calzoum Bachri, dengan judul Ayam. Kenyataan hidup yang ditampilkan dalam cerpen itu adalah kemiskinan orang-orang pinggir kali yang bertetangga dengan orang-orang berada dari kelas sosial yang lebih tinggi di pemukinan orang setengah kaya. Ceritanya berkisar pada ikhtiar seorang lelaki yang setengah kaya akan membuang ayamnya yang mati. Begitulah, ketika si lelaki itu melemparkan bangkai ayamnya ke kali tiba-tiba saja seorang perempuan kurus kering terjun ke kali dan berhasil mendapatkan bangkai ayam itu. Si lelaki terpana dan berusaha mengejar perempuan yang sudah membawa bangkai ayam itu. Terjadi rebutan bangkai ayam antara si perempuan dan si lelaki. Lalu, si lelaki mengeluarkan uang seribuan untuk pengganti bangkai ayam miliknya itu. Si lelaki akhirnya membawa bangkai ayamnya itu dan tidak jadi membuangnya di kali karena membuang bangkai ayam ke kali berarti sama dengan menghadiahkan bangkai ayam itu kepada si papa. Lelaki setengah kaya itu menyimpan ayam mati itu di tempat sampah yang kosong di kantornya. Keesokan harinya, si lelaki itu mendengarkan percakapan pegawai rendahan kantor itu sesama temannya tentang ayam mati yang disimpan lelaki separuh baya itu di tempat sampah kosong dengan menyatakan anggapan bahwa si lelaki itu malu-malu untuk memberikan bangkai ayam itu kepada mereka. Rupanya bangkai ayam itu dimasak dan dibagikan. Si lelaki itu terkejut kalau bangkai ayam yang dibuangnya telah dimasak dan dimanfaatkan oleh pegawai rendahan kantor, bahkan dinyatakannya sebagai masakan yang amat lezat.

Kenyataan hidup yang didekatkan kepada kita melalui cerpen itu adalah kemiskinan yang amat menyesakkan hati. Dalam konteks cerpen ini, dikemukakan bagaimana manusia tidak dapat berpikir panjang akan ihwal bangkai ayam yang menjijikan bagi orang setengah kaya dan melezatkan bagi orang miskin. Melalui cerpen itu, kita disadarkan bahwa yang sudah tidak berarti bagi kita masih berarti bagi yang lain, yang lebih miskin. Kita ingat bagaimana pakaian bekas yang ”diimpor” dari negeri kaya ke negeri kita yang rakyatnya miskin menjadi barang dagangan. Pakaian bekas yang dibuang itu diberi harga. ”Bangkai pakaian” itu menjadi rebutan di Jakarta dan kota besar lainnya untuk diperjualbelikan. Tragis.


3
Mengapa apresiasi sastra itu penting? Kenyataan berikut menunjukkan hal itu. Pengajaran bahasa di SD pun kini ”didampingi” dengan apresiasi sastra. Penyusun kurikulum pembelajaran bahasa sudah mencantumkan secara eksplisit apresiasi sastra itu. Kita menghadapi kesulitan bagaimana apresiasi sastra itu diajarkan kalau yang harus melaksanakannya belum memiliki sikap apresiatif terhadap sastra.

Di awal karangan ini sudah ditegaskan ihwal apresiasi sastra itu sebagai sikap menghargai sastra. Menghargai sastra berarti memberikan harga kepada sastra. Dengan memberikan harga kepada sastra itu, kita berusaha menjadikan sastra itu bermakna bagi kehidupan. Hal ini berarti bahwa kita yakin dan percaya bahwa sastra itu berguna. Tanpa kepercayaan dan keyakinan itu tidak mungkin terwujud sikap apresiatif terhadap sastra.

Bagaimana apresiasi sastra itu diwujudkan secara konkret? Yang pertama dan utama adalah kita membaca teks sastra itu. Kalau sastra itu sastra lisan, kita mendongengkannya kembali. Peribahasa, misalnya, adalah salah satu wujud sederhana dan ringkas yang tergolong sastra. Kita mulai saja dengan mengingatkan anak-anak akan peribahasa itu. Berikut ini beberapa contoh.

1. Berdiang di abu dingin.
2. Kecil-kecil anak, sudah besar menjadi onak.
3. Angguk bukan, geleng ya.
4. Memikul di bahu, menjunjung di kepala.
5. Bangau, bangau, minta aku leher; badak, badak minta aku daging.
6. Kalah limau oleh benalu.
7. Besar bungkus tak berisi.
8. Besar kapal besar gelombang.
9. Padi ditanam tumbuh ilalang.
10. Di tempat tak ada lang, kata belalang akulah lang.

Dengan mengenalkan peribahasa, kita memulai langkah awal apresiasi sastra. Makna yang terkandung dalam peribahasa amatlah dalam. Nenek moyang kita telah menemukan makna itu dengan susah payah dengan ”membaca” alam. Alam yang ”dibaca” itu antara lain, abu, onak, bangau, badak, limau, benalu, gelombang, padi, ilalang, lang, dan belalang. Bagaimana alam dipertemukan secara kreatif oleh nenek moyang kita untuk mengajari kita, itulah peribahasa. Selain alam, nenek moyang kita juga membaca perilaku manusia (angguk, geleng, mikul, menjunjung) dan hasil budaya manusia ( kapal, bungkus). Kini tinggal kita memanfaatkan temuan nenek moyang kita itu untuk diturunkan kepada anak-anak kita. Bukankah sekarang jarang orang menggunakannya? Mengapa kita tidak memanfaatkannya?

Di mana kita dapat menemukan peribahasa itu? Ada beberapa buku yang sudah ditulis secara khusus untuk pelajaran di sekolah, seperti buku Aman, Badudu, dan beberapa buku peribahasa yang dituliskan oleh yang lebih muda. Sekurang-kurangnya kita dapat memanfaatkan KBBI atau kamus susunan Purwodarminto. Namun, terus terang kita sangsi mudahkah buku yang disebut terakhir diperoleh di tempat yang jauh dari kota?

Apresiasi sastra juga dapat menawarkan tradisi lama kita, yakni pantun. Pantun itu ada di mana-mana di pelosok tanah air kita dengan nama yang berbeda. Tradisi pantun itu merupakan kekayaan budaya kita yang sampai hari ini polanya pun masih dimanfaatkan oleh penyair muda. Kita mengenalnya sebagai pantun modern. Apa dan bagaimana pantun kita sudah mafhum semua. Kita simak yang berikut ini.

Berakit-rakit ke hulu,
Berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu,
Bersenang-senang kemudian

Pantun yang amat terkenal ini merupakan hasil nenek moyang kita ”membaca” alam dan menemukan ajaran yang terkandung di dalamnya yang berupa kearifan hidup. Mungkin kita menemukan ungkapan lain yang sama kandungan isinya, yakni ”sengsara membawa nikmat” Kita ingat bahwa ungkapan itu merupakan judul novel sebelum kemerdekaan yang pernah diangkat ke layar kaca beberapa tahun silam.

Di atas kita singgung pantun modern. Yang dimaksud adalah puisi modern yang menggunakan pola pantun dalam penataan (pengaturan) rima atau persamaan bunyi akhir yang biasa melekati pantun. Kita dapat menyebut Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Hartoyo Andangdjaya, dan Goenawan Mohamad, antara lain, telah menggunakan pola pantun dalam beberapa puisinya tanpa menghadirkan larik sampirannya. Kita perhatikan sajak Chairil berikut ini.

NISAN
Kepada Nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

Jelas sekali pola rima a-b-a-b terwujud dalam teks sajak Chairil itu. Sekali lagi isinya tidak ada karena “menyatu” dalam larik-larik sajak dan adat puisi modern cenderung tidak mengajari secara langsung pembacanya. Tidak mengajari bukan berarti tidak mengandung ajaran, amanat yang mendukung kebermaknaan sajak itu. Pembaca modern yang canggihlah yang dapat mengungkapkan ihwal ”ajaran” tersebut, ihwal isi sajak modern itu.

Pola pantun yang diikuti oleh Sitor Situmorang tampak lebih tegas lagi berupa pola rima a-a-a-a. Di antara kekaburan ingatan berikut ini sebagian kita kutip.


LAGU GADIS ITALI
Kepada silvana macari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Bila musimmu tiba nanti
Jemput abang di Teluk Napoli

Batu tandus di bawah nyiur
Bayang-bayang di kebun anggur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur

Demikian juga sajak Goenawan Mohamad tergores dalam ingatan yang sudah mengabur berikut ini yang berpola rima a-b-a-b.

Z

Di bawah bulan Marly
Dan pohon musim panas
Ada seribu kereta api
Menjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpi
Matahari panas
Seketika berakhir berahi
Begitu bergegas

Lalu jatuh daun murbei
Dan air mata panas
Lalu jatuh daun murbei
Dan engkau lepas

Pantun modern hakikatnya puisi modern dan bukan pantun. Disebut pantun modern karena ada upaya penyair untuk sepenuhnya mengikuti pola bunyi yang dikenal dalam pantun, sedangkan bagian isinya tidak ada. Isinya diserahkan kepada pembaca.

Kita masih dapat memanfaatkan tinggalan nenek moyang yang berupa teks sastra lisan. Dongeng-dongeng rakyat, legenda dan mite, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk pengajaran apresiasi sastra pada tataran awal itu. Legenda tentang Malin Kundang, misalnya, dapat didongengkan kepada anak-anak kita manakala tayangan tentang dongeng tersebut sudah mereka lihat di televisi. Tentulah ada yang masih tersembunyi di balik legenda itu sebagai makna yang lebih jauh.

Begitulah apresiasi sastra itu penting. Dengan apresiasi sastra, kita melatih anak-anak menguasai kata dan makna kata, lebih jauh lagi makna karya sastra. Kemampuan menguasai makna sastra itu adalah hasil sebuah proses panjang yang tidak diperoleh dalam waktu sekejap. Hal itu didapatkan melalui kegiatan membaca dan membaca lagi bahkan sampai rambut pun ubanan. Makna sastra itu tidak datang serentak tetapi berangsur-angsur, bertahap-tahap. Dengan bertambah pengalaman hidup kita, bertambah pulalah makna yang dapat kita ungkapkan dari sebuah teks sastra yang bermutu. Dengan bertambahnya ilmu, bertambah pula makna yang dapat kita rumuskan.

Mungkin timbul pertanyaan di antara kita di mana batas makna sastra itu? Di mana batas akhir untuk tidak lagi ”mengigau” dan ”berceloteh” tentang kandungan makna sebuah puisi?

Hal itu amat bergantung pada nilai karya sastra itu sendiri. Semakin tinggi nilai sebuah karya sastra semakin kaya kandungan makna yang dimilikinya. Selain itu, semakin kaya pengalaman dan pengetahuan pembaca semakin besar pula peluangnya untuk memperoleh kandungan makna karya yang bermutu tinggi itu. Yang jelas pemaknaan atas sebuah teks sastra bergantung pada kata dalam teks sastra itu dan pada pembacanya juga. Jadi, batas akhir itu nisbi, tidak mutlak. Sajak Nisan Chairil Anwar, misalnya, yang kita kutip di atas masih dapat bongkar lagi untuk kita maknai. Demikian juga sajak-sajak Chairil Anwar yang lain seperti Aku dan Senja di Pelabuhan Kecil. Hal yang sama berlaku uga untuk sajak penyair lain yang bermutu karya Amir Hamzah hingga karya penyair yang datang kemudian.

4

Kita akhiri perincangan ini dengan sebuah tamasya batin untuk kita, bukan untuk anak-anak SD. Kita baca sajak Joko Pinurbo yang lucu dan menawan, tetapi sedikit menimbulkan kerutan di dahi berikut ini.

MEDITASI

Celana tak kuat lagi menampung pantat
Yang goyang terus memburu engkau.

Pantat tak tahan lagi menampung goyang
Yang kencang terus menjangkau engkau.

Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
Yang kejang terus mencengkram engkau.

Telanjang tak mampu lagi melepas,
Menghalau Engkau

(2000)

Bermutukah sajak ini? Pertanyaan itu mungkin menghadang kita dalam ”tamasya batin” ini. Bagi kita, khususnya saya, sajak Joko Pinurbo itu lucu dan menggugat tentang ihwal perburuan mencari kenikmatan badai yang berakhir dengan yang suprabadani, yang ilahiah. Kita cermati penulisan engkau dengan ”e” bukan yang berakir dengan penulius Engkau dengan ”e” kapital. Dengan mengamati cara penulisan sepetri itu, kita dapat mengira-ngira bahwa sajak tersebut berbicara tentang celana, goyang, pantat, dan telanjang. Celana tak kuat ”menampung” goyang, pantat tak tahan ”menampung” goyang, goyang tak sanggup ”menampung” sakit, yang semua itu ditujukan untuk engkau kecil. Dan, di akhir sajak kita baca ihwal telanjang tak bisa juga ”melepas, menghalau Engkau besar. Silakan Anda meneruskan celoteh ini igauan ini untuk ”merebut” makna sajak tersebut dalam batas-batas kemampuan masing-masing.

Kita lanjutkan tamasya batin itu dengan membaca sajak-sajak yang mengunkapkan ihwal ”mandi” dari penyair yang sama sebagai berikut. Saya yakin, kita akan menemukan sesuatu yang bermakna untuk mengarifi hidup keseharian kita.

DOA SEBELUM MANDI

Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.

Kalau saya buka tubuh saya nanti,
Mayat yang saya sembunyikan
Akan bangun dan berkeliaran.

Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
Untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
Tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya
Agar saudara kembar saya
Bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.

(2000)

Begitulah tamasya batin dalam dan dengan puisi tentang hakikat mandi. Mandi dalam konteks sajak ini memiliki makna yang dalam, bukan sekedar mandi. Kita bisa saja mengaitkannya dengan, katakanlah. Tradisi dipermandikan dalam iman Kristiani yang boleh jadi melatarbelakangi sajak penyair Katolik ini. Kita tidak terlalu cerdas untuk memasuki lebih jauh wilayah yang tak kita kenal secara gamblang. Namun, pertanaan dalam dialog mengingatkan kita akan hubungan karib antara aku dan engkau. Tamasya batin tidak perlu pemandu yang dengan gamblang bercerita tentang yang ditemukan dalam perjalanan tamasya itu. Kita dapat memberikan makna sesuai dengan kekayaan batin yang kita miliki.

Pada akhirnya di tangan kita sebuah puisi atau karya sastra pada umumnya bermakna atau tidak. Kita teruskan membaca dan membaca lagi, meskipun kerut di dahi semakin bertambah dan di kepala uban kebingungan bermunculan secara perlahan. (*)

*) Peneliti Pusat Bahasa, Jakarta

Luapan Jiwa dengan Kata Kering

(Radar Lampung, 22 April 2007)

Oyos Saroso H.N.*)

MENIKMATI puisi para siswa SMA Negeri 1 Bandarsribawono dalam Sastra Milik Siswa (SMS) edisi kali ini, kita seperti berhadapan dengan untaian kata-kata yang dibuat indah atau diindah-indahkan. Gaya pengungkapan seperti cara seorang remaja yang sedang mengisi lembar demi lembar buku harian.

Kawan-kawan kita ini hanya menuliskan begitu saja luapan perasaan dan pikirannya. Kita tidak melihat ada upaya untuk menyeleksi kata yang perlu dan tidak perlu dan menyusun kata-kata itu menjadi sebuah bangunan puisi yang mengandung makna dalam dan enak untuk dinikmati.

Kalau mencipta puisi sekadar menuliskan perasaan yang membuncah dengan tipografi puisi, alangkah banyaknya penyair yang lahir tiap hari karena sedang jatuh cinta dengan cowok atau cewek atau terpesona dengan suatu hal.

Bila kita perhatikan dengan seksama, tak satu pun penulis yang puisinya dipajang di ruang ini memakai unsur-unsur pembentuk puisi, seperti imaji dan metafor. Luapan emosi dan pikiran diungkapkan dengan bahasa apa adanya. Alhasil, puisi-puisi itu pun menjadi luapan jiwa dengan kata-kata yang kering. ”Kata-kata yang tidak bernyawa atau kata-kata yang tidak berdarah, kata seorang kritikus sastra. Seandainya mereka memanfaatkan imaji dan metafor, puisi-puisi yang dilahirkan tentu terasa lebih hidup dan kuat.

Memang bahasa puisi tidak harus selalu penuh dengan imaji dan metafor. Ada beberapa penyair kuat Indonesia yang menulis puisi dengan bahasa sederhana, tetapi puisi-puisinya tetap kuat dan sarat makna. Salah satunya, Joko Pinurbo.

Penyair ini menjadi terkenal dan dipuji karena memakai bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Namun, untuk sampai ke sana, Pinurbo telah melakukan kerja keras dengan melakukan pencarian bentuk, penggalian tema, dan penaklukan kata. Dengan begitu, meskipun bahasanya sederhana, kata-kata yang dipakai tetaplah melalui seleksi, pertimbangan, penataan, dan penyusunan begitu rupa sehingga membentuk kesatuan.

Coba perhatikan puisi Joko Pinurbo berjudul ”Celana, 1” berikut ini:

Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

Sepintas puisi di atas sangat sederhana bahkan cenderung kekanak-kanakan. Namun, ia begitu padu. Setelah penikmat selesai membacanya, mungkin akan tersenyum simpul. Dia telah membuat rasa takjub pembaca oleh permainan kata-kata yang tanpa terduga itu.

Hal berbeda terdapat dalam puisi ”Pesona Jiwa” karya Chelistya Eryesma Anwar. Puisi Chelistya berbicara tentang jiwa. Si aku-lirik merasakan berada di dalam jiwanya, tempat sumber cahaya bermula. Pada baris-baris selanjutnya diungkapkan bahwa jiwa si aku-aku lirik adalah cahaya. Jadi, jiwa oleh penyair digambarkan serupa cahaya yang membuat tubuhnya menjadi indah, berjalan seperti menari, tersenyum seperti bunga, dan memandang seperti matahari.

Sampai di sini sebenarnya ada logika yang kacau. Pada bait pertama aku-lirik merasa di kedalaman jiwaku, tetapi baris-baris selanjutnya lebih menjelaskan bahwa aku sama dengan cahaya. Sepintas puisi Chelistya ini terasa ekspresif dan ”digali” dari kedalaman jiwa. Namun, keindahan ekspresifnya tidak terbangun dengan baik.

Kasus serupa juga terjadi dalam puisi Nunik Dyah Indraswari berjudul ”Misteri Ilahi”. Menurut saya, puisi ini juga gagal lantaran penulisnya terlalu terburu-buru merampungkan puisinya. Larik-larik puisinya tidak lebih dari ungkapan perasaan yang disusun dengan tipografi puisi. Kalau larik-larik itu dideretkan mendatar secara bersambung, tidak ada bedanya dengan catatan harian.

Semoga pembicaraan singkat ini bisa memacu para siswa dan penyair pemula untuk terus menulis puisi dan mengasah keterampilan dengan tekun sehingga potensinya makin berkembang.

*) penyair, esais, dan jurnalis, tinggal di Bandarlampung.